Advertorial Bisnis Online

Pantaskah Remunerasi Polri?


Para prajurit TNI dan Polri bisa bernapas lega. Setelah tertunda sekian lama, remunerasi enam lembaga yaitu Kementrian Pertahanan, Kementrian Koordinator Kesra, Kementrian Koordinator Polhukam, serta Kementrian PAN dan Reformasi Birokrasi, akhirnya disetujui DPR.

Remunerasi itu efektif terhitung sejak Juli 2010, mekanisme pemberiannya akan dilakukan dengan cara dirapel hingga enam bulan terakhir. “Saya yakin nantinya akan ada peningkatan kinerja ke depan,” kata Menko Kesra Agung Laksono, usai rapat koordinasi pimpinan DPR dan Komisi bersama sejumlah menteri, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (15/12).

“Ini merupkan bentuk penghargaan, terutama kepada prajurit TNI dan Polri yang selama ini bertugas di lapangan, serta peningkatan kualitas LKPP Tahun 2009 yang sudah WDP ” kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso.

Menurut Menhan Purnomo Yusgiantoro , uang remunerasi tersebut berbeda dengan tunjangan khusus bagi prajurit TNI yang bertugas di perbatasan. Tunjangan khusus tersebut saat ini sudah mulai berjalan. “Ini beda lagi, yang tunjangan khusus sudah berjalan,”

Namun demikian banyak kalangan justru menilai Polri belum layak untuk mendapatkan ”reward” dengan diberikannya tunjangan remunerasi tersebut.
Beberapa kasus besar yang melibatkan sejumlah petinggi Polri, termasuk kasus penangkapan mantan Kabareskrim Susno Duadji yang membongkar praktik dugaan Markus, kasus Gayus yang oleh Presiden diserahkan pada Polri bukan KPK, serta ketidakjelasan hal ikhwal rekening gendut yang melibatkan para petinggi Polri belum lama ini membuktikan bahwa Polri memang belum siap melakukan reformasi.
Manuver yang dilakukan para petinggi Polri hanya semakin menguatkan pandangan masyarakat bahwa Polri termasuk salah satu institusi yang sulit direformasi . Bahkan, sepertinya tak ada sedikitpun upaya dan usaha yang serius dari Polri untuk mereformasi dirinya . Jangan salahkan masyarakat jika ada pameo bahwa “ hanya ada 2 Polisi yang baik dan tak bisa disuap, yakni Polisi tidur dan Hoegeng ”
Hal ini tentu merupakan sikap mental Polri yang bertentangan dengan sikap mental rakyat yang mencintai negeri ini. Lebih-lebih sikap mental yang dipertontonkan Kapolri kepada rakyat dengan tidak serius membongkar berbagai kasus yang diduga melibatkan sejumlah petinggi Polri sebagaimana dituduhkan Susno Duadji. Bahkan ada kesan menutup-nutupi.
Jika dilihat dari berbagai sudut, baik secara organisasi maupun hirarki institusi, maka Kapolri harus bertanggungjawab terhadap semua keadaan dan kondisi yang terjadi di tubuh Polri saat ini. Kalau Kapolri tak mau bertanggungjawab, maka ia harus mengundurkan diri agar perbaikan di tubuh Polri dapat dilakukan oleh Kapolri yang baru. Sebab, belajar dari berbagai kasus yang terjadi tubuh Polri saat ini, rasanya dengan program 100 hari yang ada , kita hanya bisa bermimpi untuk berharap adanya perubahan Polri dari Kapolri sekarang.

Dengan kata lain, bukan saja Polrinya yang menikmati keadaan Polri seperti saat ini, tapi presiden juga ikut menikmati keadaan Polri yang tidak reformis ini.
Makanya wajar jika rakyat bertanya-tanya, ada apa dengan Presiden SBY? Dan ada apa dengan Kapolri? Jangan-jangan Polri kita saat ini memang menikmati kebobrorokan yang terjadi selama ini dimana kesewenang-wenangan dan penyalahgunaaan hukum terjadi di tubuh Polri.

Sekedar contoh terlihat dalam sikap Polri saat menghadapi para demonstran yang seringkali bukan saja ”refresif tapi juga brutal”, mulai dari memukulinya sampai menahannya. Padahal, yang mereka sampaikan itu adalah justru tuntutan adanya berbagai perbaikan dalam pelaksanaan hukum dan perundang-undangan. Polri itu kan bukan pemegang kekuasaan, bukan pengawal diktator dan bukan tukang pukul penguasa.

Di Negara manapun didunia, tak ada Negara maju yang tak melaksanakan hokum dan perundangan. Sebab, itulah kunci dari maju tidaknya sebuah Negara. Kalau di negara itu hokum tak dilaksanakan, sudah dapat dipastikan Negara itu tak akan maju. Amerika, Jepang dan beberapa Negara Eropa lain yang maju karena disana hukum benar-benar dilaksanakan.

Hukum bukan untuk dijadikan alat pemerasan. Untuk itulah saatnya Polri sekarang untuk segera melaksanakan reformasi total, bukan melaksanakan kekuasaan yang dijalankan seolah-olah atas dasar hukum.
Masyarakat kita tidak bodoh, hanya saja sebagai rakyat kecil tidak mampu berbuat apa apa melihat berbagai penyimpangan yang sudah seolah olah disetting ending-nya tersebut. Mayoritas rakyat sudah tidak lagi percaya terhadap penanganan yang dilakukan Polri terhadap kasus kasus besar yang ada. Apalagi setelah kasus kriminalisasi KPK. Terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, banyak rakyat cenderung memandang negatif polisi. Persepsi masyarakat yang buruk terhadap polri ini bisa dimaklumi. Boleh dikatakan, ini puncak kekecewaan rakyat terhadap sikap polisi selama ini.
Tulisan ini bukan untuk memojokkan posisi Polri. Sebaliknya, tulisan ini adalah harapan dan cinta rakyat agar polisi Indonesia semakin baik dan profesional.
Nah, kembali ke remunerasi, dengan diberikannya tunjangan tersebut tentunya Polri dituntut untuk sesegera mungkin menghapus beberapa mental negatif yang menurut masyarakat masih ada :

Mental suap: ada uang, semua urusan beres
Perhatikan bagaimana proses rekrutmen polisi. Bukankah sudah menjadi rahasia umum kalau ingin menjadi polisi harus membeli “tiket masuk” alias suap? Dengan proses rekruitment yang buruk ini tentu berimbas pada minimnya orang jujur dan berintegritas di tubuh polri. Bagaimana mereka hendak menegakkan kebenaran dan keadilan sementara mereka sendiri bukan termasuk orang-orang yang benar dan adil?
Dengan demikian, bukan hanya membudayakan suap di kalangan internal saja, polri juga mendidik rakyat bermental suap. Nah, kalau suap-suap kecil ini dianggap biasa dan menjadi budaya, tentu tidak heran jika suap besar untuk melakukan konspirasi dan fitnah bisa diterima begitu saja.

Manipulatif dan ketidakberpihakan pada nurani
Entah berapa banyak orang yang sebenarnya tidak bersalah dipaksa oknum polisi untuk mengaku salah. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan diancam dan disiksa jika tidak mengakui sesuatu yang sebenarnya bukan kesalahannya.
Polri juga seringkali teledor dan mengabaikan nurani dalam melakukan penyidikan, celakanya hal yang sama juga dilakukan oleh kejaksaan sebagai penuntut umum negara yang tentunya akan berlanjut di Pengadilan.
Pilih kasih dan mengabaikan nurani pada beberapa kasus yang melibatkan anak anak di bawah umur, bahkan lansia, dengan kasus ringan misal pencurian pisang atau kakao yang jelas jelas hanya untuk memenuhi kebutuhan perut dan diakibatkan oleh ketidakmampuan negara untuk mensejahterakan rakyatnya, tuntutan yang diberikan terlihat terlalu berlebihan bisa lebih dari 2 tahun penjara, berbeda dengan perlakuan para penyidik terhadap kasus Gayus yang melibatkan juga penyidik di Bareskrim Mabes Polri, Gayus cs tersebut sampai saat ini hanya dikenakan Pasal Gratifikasi yang hukumannya sangat ringan, padahal kerugian negara yang ada milyaran rupiah.

Yes Man
Menjadi Yes Man pada atasan atau asal taat tanpa pertimbangan nurani dan pikiran jernih kadang menjengkelkan juga. Saya melihat polisi berada dalam strata sosial yang berkelas-kelas. Keutamaan seorang polisi seolah-olah ditentukan oleh pangkat dan jabatannya. Polisi kelas rendahan harus taat pada polisi kelas atas. Walaupun perintahnya kadang tidak benar. Ujung-ujungnya beberapa polisi mengalami konflik batin dan akhirnya menyerang atasan serta menjadi pemberontak yang menakutkan.

Angkuh, Arogan dan Brutal
Masih ingat kasus Densus 88 yang bertingkah di Bandara Polonia Medan ?
Menjadi polisi berseragam memang tampak gagah, berkuasa, punya kekuatan dan sangat berwibawa sekali. Tapi itu bukan alasan untuk bersikap angkuh, sombong, arogan dan mau menangnya sendiri. Sebab, dengan keangkuhan, manusia sebetulnya akan jatuh dan dengan kerendahan hati, manusia akan diangkat. Bukankah seiring dengan kekuatan (kekuasaan) yang besar terdapat tanggungjawab yang besar? ^ ^
Sebenarnya sebagai lembaga sipil (yang secara undang undang diperbolehkan menggunakan senjata api), hal ini sudah dicoba dengan diantisipasi dengan mengurangi kadar militersitik pada pendidikan Polri, terutama bagi Bintara. Namun ini juga buah simalakama, dengan hanya 7 – 8 bulan pendidikan apa yang dihasilkan? Bintara muda tersebut justru makin tidak profesional,serba tanggung serta kurangnya mental dan disiplin yang baik.

Pelit Senyuman
Saya sebetulnya merindukan polisi (terutama polisi lalu lintas) yang murah senyum. Polisi yang melayani dengan tulus dan terpancar kebahagiaan dari wajahnya. Melindungi masyarakat dan bahagia dengan pekerjaannya itu. Bukan pasang tampang kaku, serem dan menakutkan. Kalau sama penjahat sih urusannya lain, tapi kalau sama masyarakat itu namanya keterlaluan.
Itu persepsi negatif masyarakat terhadap polri. Semoga remunerasi yang diberikan dapat menjadi pemicu bagi Polri untuk berubah sehingga tiga atau lima tahun dari sekarang persepsi ini berubah. Polisi baik dan bersih yang sekarang minoritas akan menjadi mayoritas ke depannya. Semoga slogan polri untuk ” melindungi dan melayani” benar benar terwujud dan dapat menjadi pahlawan masyarakat.
Amien

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Punya pendapat yang berbeda?
Ingin bertanya lebih lanjut?

Kami sangat berterima kasih bila anda berkenan untuk menuliskan beberapa patah kata di kotak komentar kami

:: klikmenurutsaya ::